Rabu, 30 November 2011

Buah Cinta Berasas Takwa

Ini kisah indah percintaan seorang tabi’in mulia. Namanya Mubarak.

Dulu, Mubarak adalah seorang budak. Tuannya memerdekakannya karena keluhuran pekerti dan kejujurannya. Setelah merdeka ia bekerja pada seorang kaya raya yang memiliki kebun delima yang cukup luas. Ia bekerja sebagai penjaga kebun itu. Keramahan dan kehalusan tutur sapanya, membuatnya disenangi teman-temannya dan penduduk sekitar kebun.


Suatu hari pemilik kebun itu memanggilnya dan berkata,
“Mubarak, tolong petiklah buah delima yang manis dan masak!”

Mubarak seketika itu bergegas ke kebun. Ia memetikkan beberapa buah dan membawanya pada Tuannya. Ia menyerahkannya pada Tuannya. Majikannya mencoba delima itu dengan penuh semangat. Namun apa yang terjadi, ternyata delima yang dipetik Mubarak rasanya kecut dan belum masak. Ia mencoba satu per satu dan semuanya tidak ada yang manis dan masak.

Pemilik kebun itu gusar dan berkata, “Apakah kau tidak bisa membedakan mana yang masak dan yang belum masak? Mana yang manis dan yang kecut?”

“Maafkan saya Tuan, saya sama sekali belum pernah merasakan delima. Bagaimana saya bisa merasakan yang manis dan yang kecut,” jawab Mubarak.

“Apa? Kamu sudah sekian tahun kerja di sini dan menjaga kebun delima yang luas yang telah berpuluh kali panen ini dank au bilang belum merasakan delima. Kau berani berkata seperti itu!” Pemilik kebun marah merasa dipermainkan.

“Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi satu butir buah delima pun. Bukankah Anda hanya memerintahkan saya menjaganya dan tidak memberi izin pada saya untuk mencicipinya?” lirih Mubarak.

Mendengar ucapan itu Pemilik kebun itu tersentak. Namun ia tidak langsung percaya begitu saja. Ia lalu pergi bertanya pada teman-teman Mubarak dan tetangga di sekitarnya tentang kebenaran ucapan Mubarak. Teman-temannya mengakui tidak pernah melihat Mubarak makan buah delima. Juga para tetangganya.

Seorang temannya bersaksi, “Ia orang yang jujur, selama ini tidak pernah bohong. Jika ia tidak pernah makan satu buah pun sejak bekerja di sini berarti itu benar.”
Kejadian itu benar-benar menyentuh hati sang pemilik kebun. Diam-diam ia kagum dengan kejujuran pekerjanya itu.

Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali memanggil Mubarak,
“Mubarak, sekali lagi, apakah benar kau tidak makan satu buah pun selama menjaga kebun ini?”

“Benar Tuan”.

“Berilah aku alasan yang bisa aku terima!”

“Aku tidak tahu apakah Tuan akan menerima penjelasanku apa tidak. Saat aku pertama kali datang untuk bekerja menjaga kebun ini, Tuan mengatakan tugasnya hanya menjaga. Itu akadnya. Tuan tidak mengatakan aku boleh merasakan delima yang aku jaga. Selama ini aku menjaga agar perutku tidak dimasuki makanan yang syubhat apalagi yang haram. Bagiku karena tidak ada izin yang jelas dari Tuan, maka aku tidak boleh memakannya.”

“Meskipun itu delima yang jatuh ke tanah, Mubarak?”

“Ya, meskipun delima yang jatuh ke tanah. Sebab itu bukan milikku, tidak halal bagiku. Kecuali jika pemiliknya mengizinkan aku boleh memakannya.”

Kedua mata pemilik kebun itu berkaca-kaca. Ia sangat tersentuh dan terharu. Ia mengusap air matanya dengan sapu tangan dan berkata,
“Hai Mubarak, aku hanya memiliki seorang anak perempuan. Menurutku aku mesti mengawinkan dengan siapa?”

Mubarak menjawab,

“Orang-orang Yahudi mengawinkan anaknya dengan seseorang karena harta. Orang Nasrani mengawinkan karena keindahan. Dan orang Arab mengawinkan karena nasab dan keturunan. Sedangkan orang muslim mengawinkan anaknya pada seseorang karena melihat iman dan takwanya. Anda tinggal memilih, mau masuk golongan yang mana? Dan kawinkanlah putrimu dengan orang yang kau anggap satu golongan denganmu”.

Pemilik kebun berkata, “Aku rasa tidak ada orang yang lebih bertakwa darimu”.

Akhirnya pemilik kebun itu mengawinkan putrinya dengan Mubarak. Putri pemilik kebun itu ternyata gadis cantik yang shalehah dan cerdas. Ia hafal kitab Allah dan mengerti sunnah Nabi-Nya. Dengan kejujuran dan ketakwaan, Mubarak memperoleh nikmat yang agung dari Allah SWT. Ia hiup dalam surga cinta. Dari percintaan pasangan mulia itu lahirlah seorang anak lelaki yang diberi nama “Abdullah”. Setelah dewasa anak ini dikenal dengan sebutan “Imam Abdullah bin Mubarak” atau “Ibnu Mubarak”, seorang ulama di kalangan tabi’in yang sangat terkenal. Selain dikenal sebagai ahli hadis, Imam Abdullah bin Mubarak juga dikenal sebagai ahli zuhud. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya banyak diakui ulama pada zamannya.


Dari Novel "Di Atas Sajadah Cinta" Chapter 2, Karya Habiburrahman El Shirazy.

-Memmy-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar